
Raja Ampat membahana dengan kehebohan tambang nikel di pulau impian nan asri. Bukan tempat wisatanya saja yang istimewa, keanekaragaman hayati bawah lautnya pun tak tertandingi di dunia karena merupakan pusat terumbu karang dunia atau Epicentre of the Coral Triangle.
Rumah teduh bagi 75% spesies terumbu karang dunia. Kompleks kepulauan kecil di batas dua lautan raksasa ini hanya salah satu bukti keistimewaan lautan, dan juga bukti kemukjizatan Al-Quran yang telah menjelaskan keistimewaan yang wajib disyukuri berulang kali, seperti yang dinyatakan oleh tujuh ayat dalam Q.s. Ar-Rahman [55]: 19-25.
Ayat-Ayat Laut
Diwahyukan di tengah padang pasir tandus beratus kilometer dari lautan, 14 abad lalu, Al-Quran justru memuat 41 ayat tentang lautan. Mukjizat apa lagi yang engkau dustakan! Ayat-ayat itu pun bukan sekadar kisah Nabi Musa a.s. berupaya menemukan Nabi Khidir di pertemuan dua laut atau Firaun yang tenggelam di lautan. Namun, ayat-ayat laut itu sangatlah lengkap, dan hari ini kita bisa membuktikannya sebagai suatu berita besar yang menakjubkan.
Contohnya, ayat 40 dari Q.s. An-Nur [24] yang menjelaskan bagaimana lautan itu berlapis ombak, arus di atas arus, dan palung laut yang gelap mencekam, hingga tangan sendiri pun tidak tampak karena begitu gelapnya. Baru tahun 1960-an saintis mempersaksikan kegelapan abadi laut dalam.
Belum lagi tentang keistimewaan batas dua laut. Istilah “lu’lu wal marjan” mestinya bukan sekadar mutiara dan terumbu karang. Sekitar 80-90% barang yang menghiasi peradaban di sekitar kita memang dientaskan (tastakhriju), melalui proses panjang dari laut. Ayatnya termaktub dalam Q.s. Ar-Rahman [55]:19-25. Aneka sumber pangan (Q.s. An-Nahl [16]:14 dan Q.s. Fatir [35]:12) dan energi berkelanjutan dari lautan (Q.s. At-Tur [52]:6), di mana kita dituntut untuk bersyukur, “la ‘allakum tasykurun”.
Surah An-Nahl [16]:14 menjelaskan kelengkapan nikmat dari lautan yang difasilitaskan untuk manusia:
“Dialah yang menundukkan (memfasilitaskan) lautan agar kamu dapat memakan daging yang segar lagi empuk darinya dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai. Kamu (juga) melihat kapal berlayar padanya, dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur.”
Misalnya, dalam ungkapan “hilyatan talbasunaha” di Q.s. An-Nahl [16]:14 dan Q.s. Fatir [35]:12, hilyah atau perhiasan di situ tidaklah dimaknai secara sempit sebagai semacam mutiara saja, tetapi segala ornamen yang bisa menghiasi manusia. Hilyah itu juga bukan hanya menghiasi para perempuan, tetapi menghiasi semua manusia, semua peradaban. Apalagi talbasunaha yang artinya ‘yang dikenakan, dipakai’. Kata dipakai di situ tidak hanya berarti ‘dikalungkan di leher’ atau ‘melingkari jemari’. Namun, artinya dipakai seperti baju, kerudung, kopiah, dan semua benda yang membuat rumah kita indah dan megah. Semuanya hilyatan talbasunaha.
Kenyataannya, bahan yang dientaskan dan diproses dari laut, hampir mendominasi kehidupan kita. Semen, keramik, asal-usul bahan bakunya dari pasir dan lumpur sedimen dari laut. Marmer yang menghias masjid dan istana, atau rumah Anda, juga merupakan bekas tumpukan terumbu karang yang hidup belasan hingga puluhan juta tahun lampau. Pakailah kaca pembesar, lihatlah jejak fosil karang di permukaan marmer yang licin. Semua bahan plastik di sekitar kita, termasuk baju dan kerudung halus adalah produk olahan petrokimia yang bahan bakunya gas dan naftalen yang merupakan ubahan dari bahan fosil yang hidup di batas dua lautan pada berpuluh juta tahun lampau. Subhanallah.
Ilustrasi berikut ini kelihatannya sederhana, tetapi saya rasa sangat menarik. Krupuk ikan, petis dan terasi adalah beberapa dari sekian banyak prestasi dan sumbangan perempuan kepulauan Indonesia untuk dunia. Bagi saya, kerupuk ikan atau kerupuk udang adalah masterpiece cerdas solusi makanan lengkap. Kompak, padat, terkemas ringkas, dan tahan lama tanpa perlu menghabiskan banyak energi. Inilah green food. Apalagi kandungannya cukup karbohidrat, protein, makro dan mikronutrisi, berperisa herba, dan garam grosok kaya microelements.
Sensasinya selalu dirindukan di segala suasana. Indonesialah penemunya. Hanya kita yang terbiasa makan kerupuk. Apalagi kalau kerupuk itu digoreng menggunakan pasir, tanpa minyak. Lalu dimasak di kompor reflektor sinar matahari. Summa excellence!
Perempuan Mualim di Haluan
Indonesia pernah punya perempuan-perempuan hebat di lautan. Pemerintah bahkan sudah menjadikan mereka pahlawan: Laksamana Malahayati (circa 1550) dan Ratu Kalinyamat (1549-1579). Pada zaman yang lebih kuno, abad ke-8, kita menyaksikan penggambaran perempuan-perempuan di relief kapal Borobudur. Kapal paling canggih di zamannya. Pada zaman modern, kita mencatat ada perempuan muslimah berjilbab, Niken Maharani yang mengarungi Samudra Hindia dari Jakarta hingga ke Accra di Afrika (2003), melayarkan perahu kuno penjelmaan relief Borobudur yang dinamai Samudraraksa.
Sebagai perempuan muslimah bangsa bahari, saya percaya para bunda kita bisa menjadi agent of change. Mereka adalah para mualim, kampiun perubahan, membangkitkan semangat kebaharian bangsa yang selama ini condong pada kultur agraris. Kita harus menjadi bangsa maritim yang mampu memanfaatkan semua keunggulan kebaharian Indonesia. Berbagai petunjuk Al-Qur’an untuk bangsa ini sudah bergelombang bagai tsunami. Perempuan memimpin perubahan pola pikir pada generasi mendatang agar berparadigma bahari; melahirkan dan mendidik tokoh, seperti Malahayati, Ratu Kalinyamat, dan Niken baru.
Lalu apa peran yang bisa dimainkan dari setiap kita? Mulailah dari yang mudah, di sini, sekarang, dari diri sendiri. Ibda’ bi nafsi. Untuk diri sendiri, Anda sudah memulainya dengan menyelesaikan membaca tulisan ini.
Selanjutnya, bacalah alam ini. Dari yang tertulis di majalah SA ini, di YouTube, di TikTok, di Parangtritis, di Embung Gunung Api Purba Nglanggeran, di Pantai Losari, Pesisir Teluk Bayur, di Pantai Ulu Watu, di mana saja di pelosok nusantara. Mulailah dengan biasa menikmati berbagai makanan laut. Bermainlah di pantai, di kolam, di dunia air, dunianya Indonesia. Itulah kawasan maritim terluas di dunia ini.
Intinya adalah membaca dan memperhatikan laut, memperhatikan alam, seperti perintah Al-Qur’an, Q.s. Fatir [35]:12, 27-28, Q.s. An-Nahl [16]:14, dan 1.024 ayat lain di dalam Al-Qur’an tentang ayat kauniyah.
Penulis buku-buku Al-Qur’an dan Lautan (2004); Batas Dua Laut (2012), Perubahan Paradigma ke Laut (2012). Direktur Eksekutif Muhammadiyah Climate Center. Dosen UIN Jakarta. Ketua Ranting PRIM Sudirman.